Sabtu, 09 Agustus 2014

Basics of English Gramma



If you just started learning English, you first need to know some basic rules of the language. Developing a solid foundation in English grammar will not only help you create your own sentences correctly but will also make it easier to improve your communication skills in both spoken and written English.

Study all the lessons below and incorporate your learning into your speaking and writing.

 

 

 

 

 

5 Easy Ways to Learn Grammar With The New York Times

grammar cartoonAlejandro Yegros
For our first guest post, we’ve invited the good people at Grammarlogues, a software- and Web-based tool “founded on the premise that grammar matters most when it has meaning beyond a set of memorized rules,” to write about ways to use The Times to bring grammar lessons to life. Come tell us how you make grammar come alive, below!

Grammar, Party of One
By Danielle Hoagland and Judith McCaffrey for Grammarlogues.com
National Grammar Day. Three words that might elicit an even greater sigh than the term grammar itself.
The holiday conjures up images of celebrants frantically grabbing red pens and running through towns and cities, adding, crossing out, and otherwise correcting abuses of syntax and diction. Innocent passersby and unsuspecting onlookers are interrogated: True or false: You cannot end a sentence with a preposition. Infinitives should never be split. Passive voice is always wrong.
Let’s reclaim this national holiday right here and now. Boycott the red pen that ensnares us in syntactical games of right and wrong, and pick up a piece of literature, any piece of literature, and explore the English language with fresh eyes.
Or just read The New York Times, which provides a panoply of grammar concepts that rivals any handbook. Consider the following five possibilities:

1. Variation Exploration

Reporters and editorial writers have one job in common: holding their readers’ interest. An essential tool for doing this is sentence variety, or using different sentence structures to avoid monotony.
The three-sentence paragraph below by Adam Liptak is a good example—he follows a simple sentence with a complex sentence, which he extends with two fairly hefty participial phrases, and he concludes the paragraph with a simple question:
“The proposed trial of Khalid Shaikh Mohammed in Manhattan presented perhaps the most extreme example of this conundrum. Had the trial proceeded there, a change of venue motion based on local news coverage and community outrage was almost inevitable, given Mr. Mohammed’s confession to planning the Sept. 11 terrorist attacks. But would that intensity of feeling be any less anywhere else in the United States?”
“Finding Untainted Jurors in the Age of the Internet”
Try this: Find one other example of sentence variety in a paragraph from an article in The Times that interests you. Analyze it as we did here to describe why it works. For more on complex sentences, click here.

2. Punctuation Station

The Times is a one-stop shop for punctuation, with virtually every mark used in every issue.
In the sentence below, for instance, Jonah Lehrer uses a semicolon to separate two independent clauses. Are alternate punctuation marks possible? What would happen, for instance, if a comma were used instead?
Darwin, of course, was wrong; his recurring fits didn’t prevent him from succeeding in science.
“Want a Better Listener? Protect Those Ears”
There is no better model for the punctuation of dialogue than an article containing dialogue. The example below of an interrupted quote is a good demonstration:
“We need to look at noise as something that is dangerous,” Ms. Nadler said, “like sharp tools or a hot stove.”
“Depression’s Upside”
Try this: Pick a type of punctuation mark, the semicolon for example, and scan an article to see where these are placed and how they are used. Then use one of those sentences as a model to try your own use of that mark. (And for more on semicolons, click here.)

3. Rule Breaker

You must understand the “rules” of grammar before you break them. If you read The Times regularly, you’ll see instances when writers intentionally break the “rules” to achieve a purpose. For example:
Is one of the sentences below a fragment? If so, what effect does it have on the article?
“Then came overtime. Pressure anyone?”
“Crosby’s Goal Ends Thriller as Canada Beats U.S.”
Does the following sentence end in a preposition, and if so, is this the only way to express the idea? For the answer, click here.
“The Knicks (20-39) have lost 10 of their last 11 games and have 23 games left to muddle through.”
“James Shows Knicks Just Why He Is Their Fondest Wish”
Why might a writer use a string of passive verbs in a particular sentence? In the following sentence, how do these passive constructions emphasize the topic?
“The roles of most of the 20,000 or so genes in the human genome are still poorly understood, but all can be assigned to broad categories of likely function depending on the physical structure of the protein they specify.”
“Human Culture, an Evolutionary Force”
Try this: How many Times sentences can you find that “break the rules”? Which work best? Why?

4. Sherlock Holmes

Incorporating quotations to support a thesis effectively and correctly is difficult, but journalists deal with this aspect of writing constantly, whether the text is a factual account or an opinion. Consider the indirect quote below from an article on the upcoming election in Iraq. Readers do not know whether these were Suliman’s exact words; however, the statement must accurately convey his thought:
“His most prominent Sunni ally, Sheik Ali Hatam al-Ali Suliman, said the voting bloc he represented in Anbar would never vote directly for Mr. Maliki.”
“Vote Seen as Pivotal Test for Both Iraq and Maliki”
Try this: You won’t have to read far to find examples in The Times of both direct and indirect quotations. Try conversion practice yourself by changing a direct quote into an indirect quote, following the punctuation approach you see in the Times article. For more on direct quotes, click here.

5. Confusion Central

The best of us sometimes get tangled up in lengthy sentences, sidetracked by the ancillary ideas in subordinate clauses or prepositional phrases.
Take a sticky sentence apart in order to get to its core. For instance, the fundamental information in the sentence below about the actor Jeff Bridges is quite brief: Duane is the subject; set is the verb; the template is the direct object.

Sabtu, 05 Juli 2014

Rasulullah Sebagai Pendidik



Rasulullah Sebagai Pendidik
(Menginspirasi dan Meneladani Sang Pendidik Sejati)
Ahmad Yani, MA
Setiap metodologi dapat diukur kebenarannya dengan ukuran keberhasilan dan hasil-hasil yang dicapainya. Dan bila kaedah ini diterapkan dalam mengukur metodologi Rasulullah Saw dalam mendidik, maka akan ditemukan keberhasilan pendidikan yang begitu menakjubkan yang tidak pernah dicapai siapapun sepanjang sejarah.

Pendidikan dalam bahasa arab adalah tarbiyah yang berarti membentuk manusia ke arah kesempurnaan yang diridhai Allah SWT. Menuju ke  arah kesempurnaan dan bukan mencapai kesempurnaan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, dan kemaksuman (bebas dari salah dan dosa) adalah milik Rasulullah.

Menyingkap kepribadian Rasulullah Saw sebagai pendidik menuntut kita untuk mengangkat sifat Rasulullah Saw yang mengantarkannya menjadi pendidik sejati, juga metodologi pendidikan Rasulullah yang dengan metode tersebut beliau mendidik sehingga berhasil dengan kesuksesan yang menakjubkan atas izin Allah SWT.

Sifat-sifat Sang Pendidik
1.    Kasih Sayang
Sifat ini harus ada dalam jiwa pendidik. Orang yang keras hatinya tidak cocok menjadi pendidik. Rasulullah Saw pernah meringankan shalat lantaran ada seorang anak yang menangis. Bagaimana beliau pernah ditimpa berbagai penyiksaan dan aniaya dari pihak Kufar Quraisy dan penduduk Thaif, namun beliau tetap berharap kebaikan bagi mereka: “Semoga Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah kepadaNya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, dari Anas bin Malik beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih pengasih kepada keluarganya dari pada Rasulullah Saw”. (HR. Muslim).

2.    Sabar
Sabar adalah bekal utama setiap pendidik. Pendidik yang tidak memiliki sifat sabar bagai musafir yang melakukan perjalanan tanpa bekal. Rasulullah Saw mencontohkan kesabaran yang sangat tegar. Beliau bersabar atas penyiksaan jasmani dan jiwa dari kaumnya, kondisi ini terus terjadi hingga menjadi jelas maksud dan risalah yang dibawa, dan pada akhirnya kebencian berubah menjadi cinta dan penyiksaan berubah menjadi penghormatan. Namun sabar perlu dipahami dengan baik. Sabar perlu diiringi dengan ikhtiar dan doa.

3.    Rendah Hati
Seorang pendidik harus memiliki sifat rendah hati (tawadhu) terhadap para anak didiknya, karena kesombongan dan tinggi hati menyebabkan adanya jurang pemisah yang jauh antara dirinya dan anak didik. Dan ini menyebabkan hilangnya pengaruh dalam pendidikannya.

Rasulullah Saw adalah sosok manusia renah hati. Beliau mengucapkan salam kepada anak-anak. Anak-anak sering mengambil tangan Rasulullah Saw dan membawa beliau sesuai kehendak mereka. Bila seseorang bersalaman dengan Rasulullah Saw, beliau tidak akan menarik tangannya terlebih dahulu sebelum orang tersebut melepas tangannya, dan tidak memalingkan wajah sebelum orang tersebut memalingkan wajahnya.

4.    Cerdas
Pendidik dituntut cerdas dan pintar. Ia dituntut bisa memahami karakter, kondisi dan permasalahan anak didik secara detil. Dengan pemahaman tersebut, pendidikan yang diberikan bisa lebih memiliki peluang keberhasilan dan kesuksesan daripada sekedar mendidik tanpa paham tentang anak didik juga kondisinya. Seorang pendidik diharapkan bisa mempertimbangkan setiap perkara yang cocok dan tidak cocok bagi anak didiknya. Dan ini bisa dilakukan jika ia mengetahui kondisi anak didiknya.

5.    Lembut dan Pemaaf
Kesalahan dan sikap buruk anak didik tidak sepatutnya membangkitkan emosi dan amarah seorang pendidik. Dia dituntut mampu keluar dari kemarahan sehingga bisa berpikir dengan jernih, guna mencari solusi atas permasalahan. Sifat lembut ini juga diiringi dengan sifat pemaaf ketika mendapat perlakuan buruk dan keji. Satu kisah Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik  ra. Anas bin Malik berkata: “Aku berjalan bersama Rasulullah Saw, dan beliau memakai jubah Najran yang kasar sisi pinggirnya. Seorang Arab Badui menemuinya dan menarik selendang beliau dengan keras, hingga aku melihat leher Rasulullah Saw berbekas karena tarikan yang sangat keras. Badui itu berkata: “Wahai Muhammad perintahkanlah agar harta milik Allah SWT yang ada padamu untuk diberikan kepadaku karena kamu tidak membawa hartamu dan harta bapakmu untukku. Rasulullah menoleh kepadanya dan tersenyum, kemudian memerintahkan Sahabat untuk memberinya sesuatu”. (HR. Bukhari dan Muslim).

6.    Kepribadian dan Wibawa yang Kuat
Seorang pendidik harus berkepribadian kuat, tidak ragu-ragu dan kurang percaya diri, agar dapat memberikan pengaruh pada anak didiknya. Kepribadian yang kuat tidak membutuhkan banyak hukuman dalam proses mendidik, bisa meminimalkan terjadinya penyimpangan, dan menanamkan kepuasan dalam jiwa. Dalam gambaran kewibawaan Rasulullah disebutkan bahwa: “Siapapun yang melihat Rasulullah Saw, maka dia pasti mengaguminya”.

Cara Rasulullah Mendidik
1.    Pembentukan Jiwa Terlebih Dahulu
Rasulullah memandang bahwa pendidikan harus diawali dengan pembentukan jiwa dan keimanan terlebih dahulu. Bila pendidikan tidak diawali dengan pembentukan jiwa dan keimanan maka segala tampilan luar dari hasil pendidikan bukanlah tampilan yang sebenarnya. Penanaman keimanan terhadap prinsip-prinsip yang mensucikan jiwa dan menjadikan prilaku lurus menjadi prioritas program, seperti penanaman keimanan agar mencintai kebaikan dan membenci kezaliman dan kekejian.

Rasulullah memerintahkan para orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya shalat pada usia tujuh tahun. Hal ini harus dilakukan dan diteruskan dengan pengarahan dan penanaman tentang kepuasan dan keimanan dalam jiwa anak terhadap urgensi shalat dan kewajibannya hingga tiga tahun berikutnya. Dan bila anak meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun, dia diberi sanksi. Dari Amru bin Syuaib, beliau  berkata: “Rasulullah Saw bersabda:“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun dan pisahkan mereka dari tempat tidur”. (HR. Abu Dawud).

2.    Penerapan Praktis
Iman di hati dan penerapan praktis adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, keduanya saling membutuhkan. Dengan maksud tersebut Allah SWT mengaitkan iman dengan amal shaleh lebih dari lima puluh lima ayat Al-Qur’an. Metodologi Rasulullah dalam pendidikan adalah dukungan teori ilmiah dengan penerapan praktis, karena buah pendidikan sebenarnya lahir dari penerapan praktis, bukan teori ilmiah.

3.    Berbicara dan Berdialog Sesuai Tingkat Pemahaman
Jika seorang pendidik berbicara kepada anak didiknya dengan bahasa yang tidak dipahaminya, maka bisa menimbulkan salah paham, dan menimbulkan salah penerapan. Karena itu, pendidik harus memperhatikan tingkat pemahaman akal anak didiknya, sehingga tidak mengajarkan dan mengarahkannya dengan bahasa yang tidak dipahaminya. Imam Muslim berkata: “Sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tidaklah kamu berbicara dengan suatu kaum menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh akal mereka, melainkan ia menadi fitnah bagi sebagian mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim).

4.    Mengutamakan yang Lebih Penting dari yang Penting
Kaidah urutan prioritas penting diterapkan dalam proses pendidikan. Tidak sepatutnya seorang pendidik lebih fokus mengarahkan anak didik untuk melakukan amal sunah namun tidak memberikan arahan semestinya tehadap amalan wajib. Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata: “Sesungguhnya seorang Arab Badui bertanya kepada Rasulullah Saw: “Kapan Kiamat terjadi?”, Rasulullah menjawab: “Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya? Dia menjawab: “Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah SWT dan RasulNya”. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu bersama siapa yang kamu cintai”. (HR. Bukhari dan Muslim). Seakan-akan Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa pengetahuan terhadap Kiamat tidak akan berfaedah jika tidak disertai dengan keimanan dan amal saleh, serta persiapan diri untuk menghadapinya.

5.    Memilih Kondisi yang Tepat untuk Memberikan Peringatan
Memilih kondisi yang tepat untuk memberikan pengarahan dan nasihat adalah langkah yang penting agar arahan dan nasihat mendapatkan pengaruhnya dalam jiwa anak didik. Inilah salah satu hikmah Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sesuai dengan kejadian dan sababun nuzuul (sebab turunnya). Rasul Saw juga demikian, karena itu ada sababul wuruud (sebab datang) hadits. Para Ulama telah banyak mengarang berbagai kitab tentang sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw.

Diantara hadits Rasul Saw yang datang karena sababul wuruud (sebab datang), Hakim bin Hizam ra, berkata: “Aku memohon kepada Rasulullah Saw harta, kemudian beliau memberikannya kepadaku, kemudian aku memohon kepadanya, kemudian ia memberikannya kepadaku, kemudian aku memohon kepadanya harta, kemudian ia memberikannya kepadaku. Kemudian Rasulullah bersabda: “Wahai Hakim sesungguhnya harta benda itu hijau dan manis. Barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang terhormat, maka dia akan diberkahi di dalamnya. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang berlebihan dan tamak, maka tidak akan diberkahi. Bagaikan orang yang makan tetapi tidak merasa kenyang. Dan tangan yang di atas  lebih baik daripada tangan yang dibawah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian sekelumit tentang sosok Rasulullah Saw sebagai pendidik sejati. Masyarakat sangat membutuhkan sosok-sosok pendidik yang dapat menginspirasi dan meneladani sang pendidik sejati. Sosok pendidik yang baik tentunya akan menghasilkan kualitas pendidikan yang baik pula, dan pendidikan yang baik adalah rahim yang akan melahirkan peradaban yang sama-sama kita nantikan. Wallahu a’lam.

TOKOH PENDIDIKAN ISLAM



TOKOH PENDIDIKAN ISLAM

  Al-Ghazali
Nama lengkapnya, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al-Ghazali, seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, teolog, filusuf, dan sufi termasyhur. Ia lahir di kota Gazalah, sebuah kota kecil dekat Tus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Ia meninggal di kota Tus setelah mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu dan ketenangan batin. Nama al-Ghazali dan al-Tusi dinisbahkan kepada tempat kelahirannya.
Konsep Pendidikan Menurut Imam Al-Ghazali dalam memahami suatu sistem pendidikan, tentu tidak terlepas dari filsafat, rumusan dan langkah-langkah serta metode-metode tertentu yang didasari seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Begitu juga pemikiran al-Ghazali dalam pandangan beliau tentang pendidikan dan pengajaran bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai ada dua tujuan.
a.       Insan purna yang bertujuan mendekatka diri kepada Allah Swt.
b.      Insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk Para Ilmuan yang memiliki keluruhan akhlak dan budi pekerti, Al-Ghazali mengatakan dalam salah satu kitabnya bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada setiap masa adalah untuk membentuk kesempurnaan dan ketentraman jiwa, karena itu ia bermaksud mengajarkan manusia agar sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan bermaksud pendidikan itu. Tujuan ini kelihatannya lebih mengarahkan kepada sifat moral dan religious, tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.
Secara umum pendidikan Islam mempunyai corak yang bernafaskan agama dan moral, ini terlihat pada kenyataan bahwa al-Ghazali tidak mengabaikan masalah duniawi. Hanya saja masalah-masalah duniawi itu sebagai sarana meraih kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih abadi dan utama.
Pendapat al-Ghazali di samping bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhaniaan. Atas dasar itulah Al-Ghazali menganggap bahwa mendapatkan ilmu itu menjadi target pendidikan, karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. Ilmu juga merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan di negeri akhirat, sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, di mana tak satu pun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu, tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan abadi, di antara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali ilmu tentang cara beramal dikuasai.
Al-Ghazali mengemukakan konsep kurikulum yang erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Ilmu dari Allah harus dituntut oleh setiap manusia, oleh karenanya pendidikan harus membuat seorang anak memiliki kesadaran terhadap hukum Islam melalui pelajaran al-Qur’an dan Hadits
Meskipun al-Ghazali tidak mengemukakan suatu metode pengajaran yang tertentu dalam karya tulisnya yang beraneka ragam tentang pendidikan, tetapi perhatiannya ditujukan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Perhatiannya terhadap pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Proses pendidikan dan pengajaran merupakan aktivitas yang menuntut adanya keteladanan guru dan hubungan yang erat antara seseorang dengan lainnya yaitu guru dan murid yang akan mendorong terciptanya metode pengajaran yang amat penting.
Al-Ghazali menekankan pentingnya persiapan bahan pengajaran oleh guru. Para guru harus mengamalkan ilmunya yang hendak diajarkan dengan cara menarik perhatian para siswa, memberikan fasilitas dan kesempatan kepada para siswa untuk memahami bahan pelajaran yang diajarkan.
Menurut Al-Ghazali konsep yang selanjutnya adalah kriteria guru yang baik dan sifat murid yang baik, sehingga tujuan pendidikan nya itu berjalan dengan baik. Dengan demikian tujuan pendidikan mengutamakan aspek spiritualnya, sehingga dapat membentuk manusia-manusia yang beriman dan bertakwa karena pembentukan iman dan takwa serta keluhuran akhlak adalah aspek yang sangat mendasar dalam pendidikan